Beranda | Artikel
Hukum Orang Fasik Menjadi Imam
Senin, 16 September 2024

Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny

Hukum Orang Fasik Menjadi Imam ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 12 Rabiul Awal 1446 H / 16 September 2024 M.

Kajian Tentang Hukum Orang Fasik Menjadi Imam

Apakah sah jika orang fasik menjadi imam? Kita telah katakan bahwa menurut jumhur ulama, orang fasik makruh menjadi imam. Namun, jika hal itu terjadi, shalatnya tetap sah, begitu pula shalat makmumnya. Apa dalilnya? Ada beberapa sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tetap shalat di belakang Hajjaj bin Yusuf, padahal dia adalah orang yang fasik. Hajjaj bin Yusuf telah membunuh banyak manusia, termasuk beberapa sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bagaimana dengan orang kafir, apakah boleh menjadi imam? Jawabannya jelas, tidak boleh. Kafir, dalam hal ini, bisa berupa kafir asli, dan ini sulit dibayangkan bagaimana seorang kafir asli bisa shalat dan menjadi imam. Namun, di zaman ini, dengan adanya dakwah pluralisme yang gencar, semua orang seakan-akan ingin disatukan dalam satu agama. Misalnya, ada yang meminta kaum Muslimin untuk mengucapkan salam yang bukan dari kaum Muslimin, begitu pula sebaliknya. Bisa jadi, hal serupa terjadi dalam waktu shalat. Jika ini terjadi, maka shalat makmum di belakang orang kafir tidak sah. Jangankan di belakang orang kafir, di belakang wanita Muslimah pun tidak sah. Jika ada kaum Muslimin laki-laki dan perempuan, atau laki-laki saja, dan yang mengimami adalah seorang wanita, maka shalat tersebut dianggap tidak sah. Apalagi jika imamnya adalah orang di luar Islam.

Mengapa orang di luar Islam tidak sah menjadi imam? Karena shalat mereka sendiri tidak sah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (QS. At-Taubah [9]: 54)

Ayat ini menunjukkan bahwa kekufuran menyebabkan ibadah seseorang tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi, ketika orang kafir menjadi imam, maka ibadah makmumnya juga tidak diterima oleh Allah.

Bagaimana dengan jamaah laki-laki yang diimami oleh perempuan? Kita katakan, hal ini tidak sah. Mengapa tidak sah? Karena hal ini tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Pada dasarnya, ibadah tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil yang membolehkannya. Dan tidak ada dalil yang membolehkan seorang wanita menjadi imam bagi jamaah laki-laki.

Dalam hal ini, kita bisa menjadikan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai dalil:

لا يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة

“Tidak akan selamat suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.” (HR. Bukhari)

Hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bisa dijadikan dalil dalam masalah ini:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang melakukan amalan yang tidak sesuai dengan tuntunan kami, maka amalan tersebut ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

Menjadikan seorang wanita sebagai imam dalam shalat untuk kaum laki-laki adalah amalan yang tidak sesuai dengan tuntunan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bagaimana dengan seseorang yang tidak diketahui keadaannya? Apakah akidahnya lurus, fasik, atau terdapat penyimpangan dalam keyakinannya? Bolehkah orang seperti ini menjadi imam? Ini sering terjadi ketika kita singgah di suatu tempat, terutama di tempat-tempat umum. Kita tidak tahu siapa yang menjadi imam, tidak tahu apakah dia fasik atau tidak, seperti di masjid yang ada di terminal atau di bandara. Atau, ketika kita bepergian, berhenti di masjid karena datang waktu shalat, dan kita tidak tahu keadaan imamnya.

Maka jawabannya adalah kita bertanggung jawab atas sesuatu yang tampak saja. Hal yang tidak tampak bukan tanggung jawab kita. Jadi, jika kita melihat ada imam yang shalat bersama kaum muslimin, kita boleh shalat di belakangnya, karena yang tampak adalah imam tersebut seorang muslim. Biasanya, orang yang dijadikan imam memiliki bacaan yang baik, sehingga kita tidak perlu mendengar bacaannya terlebih dahulu sebelum shalat bersamanya. Terlebih lagi, jika shalatnya adalah shalat sirriyah (shalat yang bacaannya tidak dikeraskan) seperti shalat Zuhur atau Ashar, atau kita datang di rakaat ketiga shalat Magrib atau Isya, kita tidak mungkin mendengar bacaannya.

Maka yang seperti ini, pada asalnya, shalat di belakang imam yang tampak sebagai muslim adalah diperbolehkan. Bagaimana jika ternyata imam itu orang fasik atau munafik? Jawabannya, jika dia fasik atau munafik di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka itu antara dia dengan Allah. Kita tidak tahu hal tersebut dan kita hanya bertanggung jawab atas sesuatu yang kita ketahui, yaitu apa yang tampak di hadapan kita. Oleh karena itu, mayoritas ulama mengatakan bahwa apabila setelah shalat seseorang mengetahui dengan jelas bahwa imam tersebut munafik dalam aqidahnya, maka makmum diwajibkan mengulangi shalatnya.

Munafik dalam aqidah adalah orang yang menyembunyikan kekufuran di dalam hatinya, tetapi menampakkan keislaman secara lahir. Jika terbukti bahwa seseorang adalah munafik dalam aqidah, mayoritas ulama berpendapat bahwa makmum harus mengulangi shalatnya. Namun, jika mereka tidak mengetahuinya atau masih ragu-ragu, maka tidak masalah shalat di belakangnya.

Bisa dijadikan dalil dalam masalah ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

يُصَلُّونَ لَكُمْ، فإنْ أصَابُوا فَلَكُمْ، وإنْ أخْطَؤُوا فَلَكُمْ وعليهم

“Imam yang fasik bisa menjadi imam dalam shalat kalian. Jika mereka melakukan kebenaran, maka manfaatnya untuk kalian (maksudnya shalat jamaah kalian sah). Jika mereka melakukan kesalahan, maka kesalahan itu kembali kepada mereka, dan kalian tetap mendapatkan pahala shalat kalian.” (HR. Bukhari)

Begitu pula dengan orang yang tidak diketahui keadaannya, apakah dia fasik atau munafik yang sebenarnya keluar dari keislaman. Apabila mereka melakukan kebaikan atau amalan yang benar, manfaatnya tetap untuk kalian. Namun, jika mereka melakukan kesalahan, maka mudharatnya kembali kepada mereka, dan kalian tetap mendapatkan manfaat dari shalat kalian.

Bagaimana kalau hafalan Al-Qur’annya sama? Download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54473-hukum-orang-fasik-menjadi-imam/